Rabu, 13 Maret 2019

Cerita Hujan Hari Ini


Saya mencoba pulang dengan menerobos hujan kali ini. Pukul setengah sembilan tadi, kebetulan masih ada jam mata kuliah terakhir. 




Terdengar hujan turun dengan deras di luar kelas tanpa aba-aba.
“Pantes ya gerah banget malam ini. Nggak tahunya mau hujan.” Celetuk teman kelas saya ke teman di sebelahnya. Keren banget ya dia, bisa menebak tanda hujan akan turun. Hehehe. Saya… menebak perasaan sendiri aja masih suka salah. Eh, tapi kalau perasaan lapar, tentu saya peka banget dan selalu nggak pernah salah.


Saya paham betul memang malam ini    bahkan sejak sore tadi cuaca panas sekali. Tapi saya nggak berprasangka akan turun hujan. Ya memang Allah itu sebaik-baik perencana. Hujan turun berarti ada keberkahan di tiap rinainya. Tak lupa, mengucap doa turun hujan. Meski kepala ini kepikiran ‘jas hujan’ yang alamat kebasahan duluan sebelum nanti dipakai. Sambil terselip doa, Semoga saat pulang, hujannya sudah mereda. Aamiin.



Selasa. Semester ini padat merayap, tempat parkirnya. Untuk pengingat diri sendiri saja, memang agaknya kalau sudah diperkirakan kelas akan pulang duluan, memarkir motor jangan terlalu paling depan dan di pojokan. Ya sekali lagi, untuk diri saya sendiri, Selasa sampai Rabu, parkir kalau bisa paling belakang. Biar bisa langsung pulang. Hehehe. Eh, pesan tempat / nge-tap posisi parkir ke bapak penjaga parkirnya boleh nggak sih? Bercanda. Tapi kalau dibawa serius sepertinya boleh juga.

Mau nggak mau saya dan salah satu teman menunggu. Sampai setidaknya motor yang terpakir tepat di belakang dan samping motor saya sudah memberi ruang gerak.


“Jangan di situ, Nur. Lu mau uji nyali?” tutur kawan saya.

Awalnya saya nggak begitu ngerti. Apaan? Kok horor? Ini cerita rumah sakit yang tadi dia ceritain di kelas belum selesai? kepala saya masih berpikir rasional. 


“Posisi kita jangan di sini. Lu nggak sadar apa itu samping lu orang pacaran semua? Pindah lah kita yuk! Geserrrr!” kawan saya ini perempuan. Paling bisa nyenggol perasaan kejomloan seseorang. Dan saya baru sadar, kalau ‘horor’ yang dimaksud adalah… tempat kami berteduh yang bersampingan dengan dua sejoli yang sama-sama sedang menunggu reda. Oke saya lola. Untuk teman saya,  sa ae lu! 🤣

Cukup lama menunggu motor bisa dikeluarkan dari pepetan motor tak berpenghuni lainnya. Sampai teman kelas satu per satu lewat sambil mengucap “duluan ya” semua. Yang lain juga.  Kamu juga. Sudah “duluan ya" tanpa kata. Hessss.. ramashoook~


Alhamdulillah punya kawan baik-baik. Dari dulu memang saya nggak selalu mulus kalau menggeser motor sendiri, kadang bisa, kadang tidak sama sekali. Malam ini? Tidak bisa :'l heran saya pun. Akhirnya dibantuin sama salah satu kawan kelas. Dan motor saya akhirnya bisa keluar! Yeys! Terima kasih, kawan! Takjub banget hari ini sama kemampuan kawan-kawan yang satu kelas dengan saya! Mantap kalian memang!

Saat melirik jam, ya memang sudah malam. Rintik masih syahdu, belum mau berhenti. Di saat seperti ini, paling enak mempir ke warkop dulu, pesan indomie kuah rasa soto, pakai telur, minumnya teh tawar hangat. Namun sialnya, sepanjang perjalanan tadi, pikiran saya malah dihantui martabak coklat lumer yang baru diangkat dari loyang, alias masih ada kepulan asapnya.  Tidak sinkron.


Malam ini saya pulang berdua dengan teman yang tadi berbisik uji nyali tepat di kuping kanan saya. Dia masih ada urusan di rumah sakit, sejak kemarin. Belum selesai urusannya. Sejak saya baru tiba di kelas tadi, dia sudah menandai saya,  “Nur, nanti pulang bareng ya.” Tentu saja saya nggak masalah, selagi kami searah.


Karena jas hujan sudah terlanjur basah, saya berdua kawan saya ini mulai nggak peduli dengan hujan yang masih setia itu. Saya nggak minat mengenakan si jas yang basah. Kalau memaksa dipakai, takut besoknya saya masuk angin. Lebih nggak asik kan kalau sampai tumbang. Jangan lah! Kudu setrooong!

Kalau teman saya, kebetulan memang nggak bawa jas hujan. Jadi kami lanjut pulang tanpa lapisan pelindung diri. 

Nekat menerobos jalanan Jakarta, sambil menikmati rintik gerimis yang tidak bisa dibilang hujan tipis-tipis. Walau kedinginan, tapi tetap di jalan cerita apa saja. Demi menghalausepi. Sampai akhirnya nggak terasa dia sudah sampai tempat tujuan. Sesuai ujarannya tadi, dia akan uji nyali betulan di rumah sakit. Mantap surantap! 


Saya tancap gas pulang~


Jalanan nggak begitu ramai kalau hujan. Ini yang saya suka. Tapi nggak sukanya, mata agak terganggu kalau diterpa hujan ke area muka. Penglihatan mendadak kabur. Jadi mau nggak mau, nggak bisa melaju dengan kecepatan maksimal banget.

Perlu diketahui, saudara, Jalan Raya Jakarta – Bogor tidak semulus wajah artis Korea. Adapun poin pentingnya, jalan raya bukan area bermain. Kalau hujan, selalu jaga jarak aman. Walau kadang saya  masih suka khilaf. Lantaran jalanan sepi adalah ujian yang terasa mubazir kalau tidak digunakan untuk ngebut, bukan? Mau jadi Rossi vs Lorenzo versi lokal? bisa banget. Atur saja. 

Jalanan sepi begini juga jadi makanan empuk bagi mas-mas yang punya motor tinggi, tapi spakbor belakangnya secimit. Siap-siap airnya nyiprat dua meter ke belakang. Terima kasih, mas! Wajah saya jadi segar!!1!~~


Tipe-tipe pejuang jalanan kalau hujan itu agak selow melow gitu. Nggak emosian. Saya suka (lagi). Nggak sukanya, kalau ada kendaraan yang nggak mau ngasih jalan alias sudah keenakan melaju di jalurnya, padahal itu jalur kanan. Betul, saya nggak bisa nyalip. Disabarin, dia tetap dengan kecepatan stabilnya. Sedangkan saya, kepalang nanggung. Sudah begitu, motor di belakang saya sudah tenot-tenot kasih tanda “Minggir! Saya mau lewaaat! Lapeeer! Ngantuuuk!!.” Padahal jarak motor kami masih jauh. Dimaklumi. Memang jam-jam segitu rentan  rindu kasur dan pemadam kelaparan.

Alhasil mau tidak mau saya mainkan klakson. Bertujuan agar pengendara di depan memberi sedikit jalan. Bersyukur, dia peka. Maaf ya, Mbak, kalau saya mengganggu kenyamanan berkendara Mbaknya.



Jakarta-Depok. Arak-arakan awan hujannya beda. Itensitas turunnya si gerimis pun makin besar. Makin dekat ke rumah, makin kuyup. Ya begitulah rejeki kami. Bogor pasti lebih deras lagi.

Yang penting, jaga kesehatan. Kalau dirasa saat di jalan pulang kepikiran ingin makan nasi padang, harap langsung berhenti di rumah makan. Karena, kepikiran kuahnya di jam setengah dua belas malam itu nggak banget dong! Kalau kebayang, bikin istighfar! :’)


Tulisan ini alurnya tidak akan saya koreksi. Untuk kali ini biarkan, saya mau menulis tanpa proses penyuntingan. Saya tahu pasti hasilnya nggak pas. Kacau balau lah kalau kata seseorang   kalau dia ingat. Kalau diibaratkan sampah, ini masih banyak yang belum dipilah. Diibaratkan masakan di Master Chef Indonesia, ini masih mentah. Nggak salah kalau Chef Juna dan Chef Arnold marah. Eh, Chef Marinka apa kabar ya? 

Ya intinya saya mau menulis saja. Biar kepala saya bisa sedikit punya ruang untuk selonjoran. Sesak betul sejak kemarin akibat sudah beberapa abad  banyak hal yang menekuk terus. Pegal. 

Saking asiknya, sampai nggak terasa sudah pukul satu pagi. Sudah ganti hari. Esok, eh, nanti pagi, sudah aktivitas lagi. Mantap sekali.



Info tambahan, saya sedang iri dengan salah satu dosen di salah satu mata kuliah semester ini. Beliau bisa dibilang keren lah. Produktif pisan! Bisa menuangkan idenya setiap hari ke dalam tulisan setelah pulang ngajar kelas malam. Parah! Saya saja mancing ilham untuk datang ke kepala lama banget. Salut lah! Mangprang pisan, Pak! Menginspirashi! 

Ini secara nggak langsung, saya sedang mempraktikkan ucapan Bapak yang berapi-api di kelas semalam. Nggak mudah ternyata. Tapi... dari kemarin kayak dikomporin untuk membiasakan. Nggak tahu sama siapa. Akhirnya bercuap tanpa arah begini. Masih chupu sekali. Hem...



Dan ada satu hal lagi membahagiakan hari ini. Tentang seseorang. Bukan teman. Bukan kawan. Tapi saya selalu senang bila menemukan karyanya yang tercecer di mana-mana.   
Saya menemukan satu lagi ‘rumah’ yang membuat dia hidup. Selama ini dia hidup. Tapi saya nggak menemukan 'rumah yang saya maksud' di hidupnya. Eh ada deh, satu. Tapi saya jarang ke sana. Haha. 

Tetap hidup dan terus hidup. Meski kadang hidup terasa melelahkan dan nggak sesuai harapan (lagi ngomong ke diri sendiri). Tetap menginspirasi. Buat acuan saya. Biar saya merasa ada temannya. Meskipun kita ofkors nggak temenan. Rumit banget? Cuma belum nemu jalannya aja. Jadi terlihat begitu. Haha. Kok malah menghibur diri sih, saya!  

Oh iya, saya sudah mampir ke rumah barumu itu. Tetap isi rumahmu. Saya pasti akan datang lagi. Tapi maaf kalau nggak ucap permisi atau meninggalkan jejak. Menjadi pembaca diam-diam, buat saya masih mengasyikan!


Salam,
Dari saya yang sudah ngantuk
tapi masih kepikiran nasi padang,

Kenoer 🍩🍉🍋🍧



Sumber foto:  Andre Benz on Unsplash

2 komentar:

  1. Muka kecipratan air gara-gara motor di depan syukurnya belum pernah karena usahain selalu jaga jarak. Yang ngeselin tuh mobil ngebut pas ada genangan. Cipratannya dari samping bisa bikin lepek sekujur badan.

    Nulis tanpa arah emang menyenangkan, ya. Tau-tau bisa panjang banget. Apalagi kalo niatnya buat dibaca diri sendiri doang. Unek-unek bakal keluar semua. Enggak ada beban sewaktu nulisnya. Hahaha. Jika ditujukan buat orang banyak, baru dah butuh penyuntingan biar terasa lebih baik. Hmm, tapi ini balik lagi ke orangnya dan tujuan dia menulis.

    Tanpa meninggalkan jejak emang asyik. Entah karena pengin menyembunyikan keberadaan atau bingung mau komentar apa. Itu kenapa minta maaf dah, Nur? Santai aja, kan orangnya enggak tau. Kalo saya lebih sering nyimak daripada komentar ketika baca blog para idola, itu karena minder. Takut mereka gantian baca. Terakhir kali saya ninggalin komentar ke idola, dia malah follow medsos dan blog saya. Bingung harus seneng apa sedih. Namun, yang paling penting adalah setelahnya: harus bisa melampaui orang yang dijadikan acuan itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Air yang ada genangannya memang suka bikin trauma. Makannya saya kalau hujan semaksimal mungkin kalau nggak pakai jas hujan, nggak mau ambil arah kanan. Kasus yang kakak bilang itu memang sesuatu banget lah. Terkejut mangkel. Hwakakak.

      Iya, asik parah nulis begitu, kak. Bebannya hilang semua. Pastinya kalau tujuan kepenulisannya untuk orang banyak dan memberikan informasi, perlu melakukan penyuntingan. Agar pesannya sampai dan tulisannya lebih enak dibaca. Nah, berhubung tujuan nulis cerita di atas adalah cuma mau curhat tanpa arah, jadi nggak disunting. Hehehe.

      Iya juga, ya. Kenapa saya harus minta maaf... *lalu heran sendiri* Mungkin karena saya merasa bahwa kalau komentar takut ketahuan identitasnya, kak. Wakakakak. Hadeuh. Dahlah aman banget jadi silent reader. Walau pasti nanti, entah kapan, pasti saya ikutan komentar xD *eh, mustahil wkwk

      Wah.. bingung juga itu kalau sampai difollow medsos sama blognya ya. Eh tapi seneng kan harusnya? cihuy ternotisss wkwk.
      Oke, saya catat di otak untuk kalimat setelah titik dua di akhir kalimat!
      Terima kasih kak Yoga! :D

      Hapus

Terima kasih sudah membaca sampai bagian akhir. ^^
Jika ada yang perlu dikomentari, maka komentarilah. Sebab punya perasaan yang dipendam itu memusingkan. Hehe.

NUR AGUSTININGSIH © | THEME BY RUMAH ES