Jumat, 09 Juli 2021

Sengaja Diakhiri




Suratku terlalu panjang untuk dituliskan
Terlalu berisik untuk diceritakan
Terlalu berantakan untuk disajikan
Namun terlalu memusingkan jika tidak diutarakan

✉️....




    Hari itu keberanikan diri menuliskan satu demi satu kata yang ada di kepalaku. Kutuangkan dalam beberapa lembar kertas warna yang sudah kusiapkan. Berharap tidak ada coretan atau salah dalam penulisan. Soalnya enggak punya tipex. Kalau banyak coretan, takut dikira isi bon hutang. :')


Pulpen dua ribuan menari bebas di atas kertas kuning tanpa garis. Aku beli empat kertas, warnanya kuning, biru, merah muda, dan hijau. Kertasnya beli di tempat fotokopi. Tidak ada alasan khusus kenapa ingin menuliskan di tipe kertas yang ada warnanya. Kebetulan sedang ingin begitu. Oh iya, dan masih tidak tahu akan menghasilkan berapa lembar tulisan. Niat banget sih kalau jadinya banyak. Tapi aku memang sudah meniatkan. EHE.


Kata pertama yang kutulis, "Assalammu'alaikum". Ya senormalnya orang berkirim pesan saja, karena agak kurang sopan kalau langsung menyapa "WOY, APAKABS CUY?". Hehehe. Bisa-bisa alis yang membaca mengernyit karena mendapati surat ini dari awal sudah terlalu sok asik. Wew.  


Selanjutnya masuk ke baris baru, "HALO (kutulis namamu)."
Tidak segan kutuliskan nama lengkapmu di sana. Aku mengingatnya. Tanggal lahirmu juga. Menghadeh.  Meski aku tidak tahu penulisan yang benar seperti itu atau tidak, tapi ya semoga saja tidak mengurangi rasa kesopanan dalam bersurat ya. 


Kata-kata selanjutnya, kubiarkan kepala dan hatiku memandu jemari untuk membubuhkan tinta di atas lembar kertas. Tulisannya agak naik-naik ke puncak gunung, sih. Tapi ya apalah dayaku yang tulisannya memang begitu. Semoga enggak menimbulkan sakit mata untuk yang membaca.


Waktu berlalu, sudah selesai kutulis semuanya. Tidak disangka, isi kepalaku menghasilkan tiga lembar tulisan seukuran kertas hvs warna bolak-balik, yang artinya enam halaman. Jujur aku pun terkejut saat mendapati hasil akhir menyisakan satu kertas warna merah muda yang masih kosong. (Asli euy sekarang sudah lupa isinya apa saja, soalnya 'museum bergambarnya' sudah terformat beberapa bulan setelahnya). Kubiarkan sisa kertas merah muda tidak dipakai. Sebab isi kepalaku sudah tertuang semua di tiga kertas yang lain. 

Kubaca berulang kali dari lembar awal sampai akhir. Kuperiksa kata demi kata. Takut ada yang berlebihan dan kurang enak diterima oleh yang membaca. Sip. Setelah mantap tidak ada kesalahan isi, langsung kukirim ke penerima.

Surat ini tidak perlu diantar pakai jasa kurir. Sebab jarak dari tempatku ke tempat penerima masih bisa dijangkau naik motor. Paling hanya butuh kepastian titik temu saja antar kedua belah pihak. Kebetulan juga kami sudah membuat janji temu dalam perkara ini. 


Waktunya mengantar si surat sampai tujuan.


Aku pergi ditemani sahabat sedari piyik untuk mengantarkan surat ini. Dia tahu segala yang sedang kurencanakan ini. Tanpa banyak babibu, dia mengiyakan ajakanku. Kurang baik apa dia mau terlibat dalam hal remeh ini? wkwk sampai hari ini aku masih mengenang banyak kebaikannya. <3

Ternyata, mengantar surat secara langsung sendirian butuh amat banyak keberanian. Jangan ditanya, rasa keberanianku luntur seketika. Padahal di hari sebelumnya masih oke saja, namun hari itu entah kenapa nyaliku menciut.


Singkat cerita, surat itu sudah tiba di tangannya. 
Kuberikan lima detik lalu saat dia mengulurkan tangan untuk menerimanya. 
Jujur, kenapa rasa takut ini baru muncul setelah suratnya diterima dan masuk ke dalam tas yang dibawanya?

AAAAAAAA.... Sungguh, rasanya ingin segera kuambil kembali surat tersebut dengan paksa, lalu segera berlari kencang meninggalkannya tanpa suara!


Namun, sudah terlambat. Tas itu sudah dikunci oleh pemiliknya. 

AAAAAA!!!! Aku histeris sendiri. 


"Oke, makasih ya. Saya izin langsung pamit."
Karena bingung, kuucap sederet kata yang paling normal dilakukan orang setelah urusannya dengan orang lain selesai. 


"Maaf kalau isinya nggak berkenan." Lanjutan ini sengaja diucapkan, dikarenakan takut ada ekspektasi tinggi di pihak seberang.


"Oh, iya, terima kasih. Saya juga mau langsung pamit. Tapi ini nggak apa ya saya bawa sekalian main?" ucapnya dengan sekali tarikan napas. 


"Eh, iya, nggak apa kok." Responku yang nyaris saja kuucap 'heeeeey jangan laaaah mukegileeeee!' tapi tidak jadi. Takut menimbulkan pertanyaan tanpa dugaan. Ya, pikiranku berlarian. Ada perasaan takut. Ya misal saja ini sih, kalau ada temannya yang iseng lalu suratnya dibaca ramai-ramai, bagaimana? Abaikan pikiran jelek tersebut karena belum tentu kebenarannya. hue.
Selain bersikap normal, berpikir tenang dan 'yaudah terserah kau aja' adalah jalan ninja. Saya mencoba percaya bahwa suratnya akan aman.


"Oke, sekali lagi makasih ya." ucapnya yang diakhiri senyum. Aku senyumin balik, meski ga kelihatan, pake masker cuy. (korona emang belom ada, tapi maskeran pas naik motor mah, kudu dari dulu. azeg)


"Sip. Saya duluan ya." Kustarter motor, lalu beranjak dari titik pertemuan yang sudah dibicarakan via pesan BBMessenger tersebut. 


Dia pun ikut pamit lalu kami berpisah di gang utama. Dia ke kanan, saya dan teman saya ke kiri. 


Selesai.

Sebenarnya ini tidak hanya mengantar surat. Karena ada satu bingkisan berupa goresan pensil (yang tentu saja tidak artsy) yang kubuat di satu lembar kertas ukuran legal, suratnya hanya sebagai pengantar dan pelengkap.



Sejujurnya, mendapat respon jawaban surat itu menyenangkan. 
Tapi untuk surat yang ini, saya tidak keberatan kalau tidak dapat respon atau apapun.
Meski yaaa bohong sih kalau tidak penasaran dengan respon penerima saat membaca surat maha aneh tersebut (?). Tapi ya sudah. Memang baiknya tidak usah tahu apapun. Huehue.


* Foto: Unsplash 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca sampai bagian akhir. ^^
Jika ada yang perlu dikomentari, maka komentarilah. Sebab punya perasaan yang dipendam itu memusingkan. Hehe.

NUR AGUSTININGSIH © | THEME BY RUMAH ES