Rabu, 08 Mei 2019

Akui Saja Bahwa Kita Tidak Baik-Baik Saja




Sudah berapa kali setiap ditanya orang sekitar "kamu kenapa?" tapi diri selalu menjawab 'nggak kenapa-kenapa'.

Sudah berapa kali setiap orang memastikan "serius nggak kenapa-kenapa?" lalu mendadak kamu diam, lalu meyakinkan diri untuk tidak 'jatuh' di hadapan orang lain, --maksudnya air matamu dan kekuatan yang sudah kamu pertahankan sejak tadi.



Alih-alih tidak mau menjawab, tapi kamu percaya pasti orang itu sudah menarik kesimpulan bahwa kamu pasti ada apa-apa.

Kamu akhirnya menarik napas, menatap mata orang itu dengan tatapan yang sejak tadi-- sekuat tenaga kamu tahan agar air mata tetap menetap, tidak tumpah.
"Serius nggak apa-apa kok." Tak lupa kamu tunjukkan senyum (sok) tegar di hadapannya.

Kadang kita hanya butuh pertahanan diri. Mencoba tidak terlihat lemah di hadapan orang lain. Bukan karena takut dicemooh dan dikatakan cengeng. Bukan. Kadang diri hanya ingin orang lain tidak perlu mengkhawatirkan masalah kita.

Kenapa?

Karena kadang masalah mereka, mungkin, bisa jadi lebih berat dari masalah kita, namun mereka tetap bisa bertahan dengan tidak merapuhkan diri di hadapan orang lain.
Dan dengan perasaan tahu diri, kita menutupi semua masalah hidup kita.

Terima kasih kepada orang-orang yang sudah mau peduli. Entah awalnya basa-basi atau bukan, tapi yang kalian utarakan itu sedikit membuat kami (para pemendam rasa padahal mau curhat tapi tidak bisa) tersentuh. Sikap yang langka mungkin. Disaat yang lain acuh, kalian sudah membuka diri untuk memulai ingin tahu.

Meski kadang niat itu tidak selalu berakhir sesuai keinginan. Nyatanya saat bersedia memasang telinga, justru mendapat respon yang membingungkan. Walau sebenarnya kalian pasti juga tahu, sedang tidak apa-apa. Namun karena yang diberi ruang untuk didengar menolak, kalian tidak bisa memaksa lebih jauh. Karena kalian juga tahu, ada privasi privasi tertentu yabg tidak ingin diberitahu.

Karena tidak semua orang diberi ruang untuk masuk. Karena setiap orang punya batas tunggu.


Sejujurnya, sebagai pemendam… kami sadar, kami manusia biasa. Jika kita kembali kepada kodrat sebagai manusia,  kadang ingin juga menceritakan masalah ini pada orang yang bisa dipercaya. Setidaknya menceritakannya saja. Tidak perlu mendapat feedback harus mendapat saran atau masukan. Tidak perlu. Kami hanya membutuhkan orang lain untuk mendengar. Yang penting apa yang kami pendam selama ini benar-benar tumpah. Tidak mengendap dan menjadi penyakit nantinya.

Namun alih-alih bercerita, rasanya juga tidak sanggup membuka mulut dan dengan gamblang menceritakan semuanya. Lantaran kami sendiri juga merasa tidak tahu apakah hal itu benar, apakah benar bila harus diceritakan ke orang lain? Apakah benar jika nantinya setelah cerita ke orang, kami akan benar-benar tenang?
Sekalipun orang tersebut adalah yang kami percaya?


Akhirnya tetap memendam.
Sampai akhirnya waktu itu tiba. Saat dimana diri datang dengan perasaan yang sudah pasrah. Diri sudah tidak sanggup menahan, akhirnya runtuhlah benteng untuk merasa tetap kuat yang sedari kemarin dipertahankan.

Di tempat yang sepi, di atas sajadah panjang yang terbentang, akhirnya air mata itu tumpah juga.
Mengadu padaNya dengan sangat-sangat gamblang. Tidak takut, tidak perlu malu dan tidak canggung.

Puji-pujian atasMu, Rabb pencipta seluruh alam raya dan seisinya tanpa kurang satu apapun.

Sambil bersimpuh dan menengadahkan tangan. Mulut tertutup, namun hati berbicara dengan sangat sanggup. Mata mengalirkan anak sungai tanpa diperintah. Mengakui kelemahan atas diri, yang tanpaNya kita bukanlah apa apa. Mengakui kesalahan-kesalahan yang sudah terlalu banyak kita ciptakan di muka bumi ini, memohon ampunan atas itu semua, sekaligus meminta petunjuk agar menjadi orang yang berada di jalan yang tetap pada koridorNya.

Hal yang semula rahasia, di hadapanNya semua itu bukanlah apa-apa. Meskipun pada kenyataannya, tanpa bercerita padaNya, Dia sudah mengetahuinya.
Namun karena kesadaran sebagai hamba yang tidak bisa apa-apa tanpaNya, diri ini menyadari bahwa sangat rapuh dan lemah. Selama ini yang mampu menguatkan, hanya Dia.
Kita yang membutuhkanNya. Jadi kita harus meminta kepada-Nya.

Meskipun tanpa harus kita minta Dia akan tetap memberi, tapi kita pasti tidak mau menjadi hamba yang begitu sombong, bukan? Naudzubillah.
Karena di akhirat nanti, kita akan berjumpa dengan-Nya, dan ditanyakan semua hal yang kita lakukan di dunia ini.
Waktu, ilmu, kebermanfaatan diri selama di dunia... Akan ditanya.

Ceritakanlah.
Karena Dia adalah sebaik-baik tempat cerita.
Kenapa kita sangat yakin?
Karena Dia adalah Rabb kita.


3 komentar:

  1. Salam kunjungan dan follow disini ya :)

    BalasHapus
  2. Menurutku tempat paling nyaman bercerita tanpa punya ketakutan apapun itu -seperti takut dibilang lemah, cengeng atau dianggap punya masalah kecil tapi sedihnya berlebihan- emang di sajadah. Rasanya kayak dipeluk sama Allah dan dikasih kekuatan yg luar biasa hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya setuju banget sama mbaknya. :D
      Emang paling aman-nyaman-tentram tuh curhat cuma sama Allah aja :')

      Hapus

Terima kasih sudah membaca sampai bagian akhir. ^^
Jika ada yang perlu dikomentari, maka komentarilah. Sebab punya perasaan yang dipendam itu memusingkan. Hehe.

NUR AGUSTININGSIH © | THEME BY RUMAH ES