Saya mencoba pulang dengan menerobos hujan kali ini. Pukul
setengah sembilan tadi, kebetulan masih ada jam mata kuliah terakhir.
Terdengar hujan turun dengan deras di luar kelas tanpa aba-aba.
Saya paham betul memang malam ini bahkan sejak sore tadi cuaca panas
sekali. Tapi saya nggak berprasangka akan turun hujan. Ya memang Allah itu
sebaik-baik perencana. Hujan turun berarti ada keberkahan di tiap rinainya. Tak
lupa, mengucap doa turun hujan. Meski kepala ini kepikiran ‘jas hujan’ yang alamat
kebasahan duluan sebelum nanti dipakai. Sambil terselip doa, Semoga saat pulang, hujannya sudah mereda. Aamiin.
Selasa. Semester ini padat merayap, tempat parkirnya. Untuk
pengingat diri sendiri saja, memang agaknya kalau sudah diperkirakan kelas akan
pulang duluan, memarkir motor jangan terlalu paling depan dan di pojokan. Ya sekali
lagi, untuk diri saya sendiri, Selasa sampai Rabu, parkir kalau bisa paling
belakang. Biar bisa langsung pulang. Hehehe. Eh, pesan tempat / nge-tap posisi
parkir ke bapak penjaga parkirnya boleh nggak sih? Bercanda. Tapi kalau dibawa
serius sepertinya boleh juga.
Mau nggak mau saya dan salah satu teman menunggu. Sampai
setidaknya motor yang terpakir tepat di belakang dan samping motor saya sudah memberi
ruang gerak.
“Jangan di situ, Nur. Lu mau uji nyali?” tutur kawan saya.
Awalnya saya nggak begitu ngerti. Apaan? Kok horor? Ini
cerita rumah sakit yang tadi dia ceritain di kelas belum selesai? kepala saya
masih berpikir rasional.
“Posisi kita jangan di sini. Lu nggak sadar apa itu
samping lu orang pacaran semua? Pindah lah kita yuk! Geserrrr!” kawan saya ini
perempuan. Paling bisa nyenggol perasaan kejomloan seseorang. Dan saya baru
sadar, kalau ‘horor’ yang dimaksud adalah… tempat kami berteduh yang bersampingan dengan dua
sejoli yang sama-sama sedang menunggu reda. Oke saya lola. Untuk teman saya, sa ae lu! 🤣
Cukup lama menunggu motor bisa dikeluarkan dari
pepetan motor tak berpenghuni lainnya. Sampai teman kelas satu per satu lewat sambil mengucap “duluan ya”
semua. Yang lain juga. Kamu juga. Sudah “duluan ya" tanpa kata. Hessss.. ramashoook~
Alhamdulillah punya kawan baik-baik. Dari dulu memang saya nggak selalu mulus kalau menggeser motor sendiri, kadang bisa, kadang tidak sama sekali. Malam ini? Tidak bisa :'l heran saya pun. Akhirnya dibantuin sama salah satu kawan kelas. Dan motor saya akhirnya bisa keluar! Yeys! Terima kasih,
kawan! Takjub banget hari ini sama kemampuan kawan-kawan yang satu kelas dengan saya! Mantap kalian memang!
Saat melirik jam, ya memang sudah malam. Rintik masih
syahdu, belum mau berhenti. Di saat seperti ini, paling enak mempir ke warkop
dulu, pesan indomie kuah rasa soto, pakai telur, minumnya teh tawar hangat. Namun
sialnya, sepanjang perjalanan tadi, pikiran saya malah dihantui martabak coklat
lumer yang baru diangkat dari loyang, alias masih ada kepulan asapnya. Tidak sinkron.
Malam ini saya pulang berdua dengan teman yang tadi berbisik
uji nyali tepat di kuping kanan saya. Dia
masih ada urusan di rumah sakit, sejak kemarin. Belum selesai urusannya. Sejak saya
baru tiba di kelas tadi, dia sudah menandai saya, “Nur, nanti pulang bareng ya.” Tentu saja saya
nggak masalah, selagi kami searah.
Karena jas hujan sudah terlanjur basah, saya berdua
kawan saya ini mulai nggak peduli dengan hujan yang masih setia itu. Saya nggak minat mengenakan si jas yang
basah. Kalau memaksa dipakai, takut besoknya saya masuk angin. Lebih nggak asik kan kalau sampai tumbang. Jangan lah! Kudu setrooong!
Kalau teman saya, kebetulan memang nggak bawa jas
hujan. Jadi kami lanjut pulang tanpa lapisan pelindung diri.
Nekat menerobos
jalanan Jakarta, sambil menikmati rintik gerimis yang tidak bisa dibilang hujan
tipis-tipis. Walau kedinginan, tapi tetap di jalan cerita apa saja. Demi menghalausepi. Sampai akhirnya nggak terasa dia sudah
sampai tempat tujuan. Sesuai ujarannya tadi, dia akan uji nyali betulan di rumah sakit. Mantap surantap!
Saya tancap gas pulang~
Saya tancap gas pulang~
Jalanan nggak begitu ramai kalau hujan. Ini yang saya suka.
Tapi nggak sukanya, mata agak terganggu kalau diterpa hujan ke area muka. Penglihatan
mendadak kabur. Jadi mau nggak mau, nggak bisa melaju dengan kecepatan maksimal
banget.
Perlu diketahui, saudara, Jalan Raya Jakarta – Bogor tidak semulus
wajah artis Korea. Adapun poin pentingnya, jalan raya bukan area bermain. Kalau
hujan, selalu jaga jarak aman. Walau kadang saya masih suka khilaf. Lantaran jalanan sepi
adalah ujian yang terasa mubazir kalau tidak digunakan untuk ngebut, bukan? Mau
jadi Rossi vs Lorenzo versi lokal? bisa banget. Atur saja.
Jalanan sepi begini juga jadi makanan empuk bagi mas-mas yang punya motor tinggi, tapi spakbor belakangnya secimit. Siap-siap airnya nyiprat dua meter ke belakang. Terima kasih, mas! Wajah saya jadi segar!!1!~~
Jalanan sepi begini juga jadi makanan empuk bagi mas-mas yang punya motor tinggi, tapi spakbor belakangnya secimit. Siap-siap airnya nyiprat dua meter ke belakang. Terima kasih, mas! Wajah saya jadi segar!!1!~~
Tipe-tipe pejuang jalanan kalau hujan itu agak selow melow
gitu. Nggak emosian. Saya suka (lagi). Nggak sukanya, kalau ada kendaraan yang
nggak mau ngasih jalan alias sudah keenakan melaju di jalurnya, padahal itu
jalur kanan. Betul, saya nggak bisa nyalip. Disabarin, dia tetap dengan
kecepatan stabilnya. Sedangkan saya, kepalang nanggung. Sudah begitu, motor di
belakang saya sudah tenot-tenot kasih
tanda “Minggir! Saya mau lewaaat! Lapeeer! Ngantuuuk!!.” Padahal jarak motor
kami masih jauh. Dimaklumi. Memang jam-jam segitu rentan rindu kasur dan pemadam kelaparan.
Alhasil mau tidak mau saya mainkan klakson. Bertujuan agar
pengendara di depan memberi sedikit jalan. Bersyukur, dia peka. Maaf ya, Mbak,
kalau saya mengganggu kenyamanan berkendara Mbaknya.
Jakarta-Depok. Arak-arakan awan hujannya beda.
Itensitas turunnya si gerimis pun makin besar. Makin dekat ke rumah, makin kuyup.
Ya begitulah rejeki kami. Bogor pasti lebih deras lagi.
Yang penting, jaga kesehatan. Kalau dirasa saat di
jalan pulang kepikiran ingin makan nasi padang, harap langsung berhenti di
rumah makan. Karena, kepikiran kuahnya di jam setengah dua belas malam itu
nggak banget dong! Kalau kebayang, bikin istighfar! :’)
Tulisan ini alurnya tidak akan saya koreksi. Untuk kali ini
biarkan, saya mau menulis tanpa proses penyuntingan. Saya tahu pasti hasilnya nggak pas.
Kacau balau lah kalau kata seseorang kalau dia ingat. Kalau diibaratkan sampah, ini masih banyak yang
belum dipilah. Diibaratkan masakan di Master Chef Indonesia, ini masih mentah. Nggak salah kalau Chef Juna dan Chef Arnold marah. Eh, Chef Marinka apa kabar ya?
Ya intinya saya mau menulis saja. Biar kepala saya bisa sedikit punya ruang untuk selonjoran. Sesak betul sejak kemarin akibat sudah beberapa abad banyak hal yang menekuk terus. Pegal.
Saking asiknya, sampai nggak terasa
sudah pukul satu pagi. Sudah ganti hari. Esok, eh, nanti pagi, sudah aktivitas lagi. Mantap sekali.
Info tambahan, saya sedang iri dengan salah satu dosen di salah
satu mata kuliah semester ini. Beliau bisa dibilang keren lah. Produktif pisan!
Bisa menuangkan idenya setiap hari ke dalam tulisan setelah pulang ngajar kelas
malam. Parah! Saya saja mancing ilham untuk datang ke kepala lama banget. Salut
lah! Mangprang pisan, Pak! Menginspirashi!
Ini secara nggak langsung, saya sedang mempraktikkan ucapan Bapak yang berapi-api di kelas semalam. Nggak mudah ternyata. Tapi... dari kemarin kayak dikomporin untuk membiasakan. Nggak tahu sama siapa. Akhirnya bercuap tanpa arah begini. Masih chupu sekali. Hem...
Dan ada satu hal lagi membahagiakan hari ini. Tentang
seseorang. Bukan teman. Bukan kawan. Tapi saya selalu senang bila menemukan
karyanya yang tercecer di mana-mana.
Saya menemukan satu lagi ‘rumah’ yang membuat dia
hidup. Selama ini dia hidup. Tapi saya nggak menemukan 'rumah yang saya maksud' di hidupnya. Eh ada deh, satu. Tapi saya jarang ke sana. Haha.
Tetap hidup dan terus hidup. Meski
kadang hidup terasa melelahkan dan nggak sesuai harapan (lagi ngomong ke diri sendiri). Tetap menginspirasi. Buat acuan saya. Biar saya merasa ada temannya. Meskipun kita ofkors nggak temenan. Rumit banget? Cuma belum nemu jalannya aja. Jadi terlihat begitu. Haha. Kok malah menghibur diri sih, saya!
Oh iya, saya sudah mampir ke rumah barumu itu. Tetap isi
rumahmu. Saya pasti akan datang lagi. Tapi maaf kalau nggak ucap permisi atau meninggalkan jejak. Menjadi
pembaca diam-diam, buat saya masih mengasyikan!
Salam,
Dari saya yang sudah
ngantuk
tapi masih kepikiran nasi padang,
Kenoer 🍩🍉🍋🍧
Muka kecipratan air gara-gara motor di depan syukurnya belum pernah karena usahain selalu jaga jarak. Yang ngeselin tuh mobil ngebut pas ada genangan. Cipratannya dari samping bisa bikin lepek sekujur badan.
BalasHapusNulis tanpa arah emang menyenangkan, ya. Tau-tau bisa panjang banget. Apalagi kalo niatnya buat dibaca diri sendiri doang. Unek-unek bakal keluar semua. Enggak ada beban sewaktu nulisnya. Hahaha. Jika ditujukan buat orang banyak, baru dah butuh penyuntingan biar terasa lebih baik. Hmm, tapi ini balik lagi ke orangnya dan tujuan dia menulis.
Tanpa meninggalkan jejak emang asyik. Entah karena pengin menyembunyikan keberadaan atau bingung mau komentar apa. Itu kenapa minta maaf dah, Nur? Santai aja, kan orangnya enggak tau. Kalo saya lebih sering nyimak daripada komentar ketika baca blog para idola, itu karena minder. Takut mereka gantian baca. Terakhir kali saya ninggalin komentar ke idola, dia malah follow medsos dan blog saya. Bingung harus seneng apa sedih. Namun, yang paling penting adalah setelahnya: harus bisa melampaui orang yang dijadikan acuan itu.
Air yang ada genangannya memang suka bikin trauma. Makannya saya kalau hujan semaksimal mungkin kalau nggak pakai jas hujan, nggak mau ambil arah kanan. Kasus yang kakak bilang itu memang sesuatu banget lah. Terkejut mangkel. Hwakakak.
HapusIya, asik parah nulis begitu, kak. Bebannya hilang semua. Pastinya kalau tujuan kepenulisannya untuk orang banyak dan memberikan informasi, perlu melakukan penyuntingan. Agar pesannya sampai dan tulisannya lebih enak dibaca. Nah, berhubung tujuan nulis cerita di atas adalah cuma mau curhat tanpa arah, jadi nggak disunting. Hehehe.
Iya juga, ya. Kenapa saya harus minta maaf... *lalu heran sendiri* Mungkin karena saya merasa bahwa kalau komentar takut ketahuan identitasnya, kak. Wakakakak. Hadeuh. Dahlah aman banget jadi silent reader. Walau pasti nanti, entah kapan, pasti saya ikutan komentar xD *eh, mustahil wkwk
Wah.. bingung juga itu kalau sampai difollow medsos sama blognya ya. Eh tapi seneng kan harusnya? cihuy ternotisss wkwk.
Oke, saya catat di otak untuk kalimat setelah titik dua di akhir kalimat!
Terima kasih kak Yoga! :D