Saya tuh kalau udah ada yang curhat mengenai masalah hidup, paling senang menyimak. Serius. Mengamati tiap masalah yang orang lain ceritakan secara langsung, maupun yang dibagikan di sosial media itu bisa bikin saya mikir, eh ternyata masalah yang gua keluhin tuh nggak ada apa-apanya, ya. Jadi intropeksi diri. Tapi ya secukupnya otak mau menerima aja. Soalnya kalau kebanyakan menelan cerita orang yang ofkors masalahnya itu beraneka warna, jika kebetulan saya sendiri juga lagi kepusingan dengan masalah pribadi, kadang saya menutup sesi curhat tersebut. Pusing cuyyyy.
Tapi ya yang namanya masalah, pasti nggak ada kan ya orang yang nggak ngerasain dan nggak punya, kan? Kadang dinikmati sambil mencari jalan keluarnya itu nggak semuanya lancar. "Tapi ya namanya juga hidup, Nur. Mau sejauh apa lu pergi juga pasti ada masalahnya." Ucap seorang kawan lama.
Iya, kadang masalah satu selesai, di belakang masih ada tuh yang ngantri. Hehe alhamdulillah dinikmati saja. Jangan takut, kan ada Allah. 😊 *eaaa
Nggak terkecuali dengan masalah yang satu ini sih. Sebuah kekacauan yang hadir karena ulah sendiri. Ketika dengan tidak sengaja menjatuhkan
laptop kesayangan dari ketinggian yang tidak bisa dijangkau. Bunyi “BRAK” saat laptop jatuh ke lantai tentu membuat panik. Suasana yang tadinya ramai, mendadak
hening. Sambil menatap nanar ke arah tempat laptop terkulai tak berdaya, napas seolah berhenti sebentar dan degup jantung menderu kencang.
KRETEK! *suara
patah hati tiba-tiba terdengar*
Ya bagaimana
nggak patah, di sana tidak ada orang lain selain kamu. Kalaupun ada, orang lainnya
juga ikut prihatin melihat seonggok laptop yang terdampar tidak cantik di
lantai itu. Masih mending sih, malah ada yang "HAYOLO ENUR. LEPTOPNYA JATOH." Duh, populasi orang ngeselin kayak gitu bisa nggak dimusnahin aja? Bukannya tenang gitu ya, malah mau kraaaay. Wkwk. Panik ini teh urang lagi paniiiik.
Mau
nyalahin orang lain? Oh jelas tidak bisa jeniperrrr. Pada akhirnya hanya bisa membodoh-bodohi
diri sendiri. Kenapa teledor sekaliiii. Sambil mengangkat
laptop dengan hati-hati, berharap waktu bisa
di rewind kayak Youtube di
bulan Desember, tapi ya nggak
bisa juga. Huhuhu. Sedih parah.
Sejujurnya
sebagai manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah kita sering sekali khilaf, lupa, teledor, hadeh, unch, dan
apaan banget. Ya kodratnya memang sudah begitu. Oh dan ada satu lagi, tidak
piawai menjaga sesuatu. JRENG.
Dibilang nggak
hati-hati... ya nggak juga. Ketika sudah berusaha dengan baik menjaga, bisa
saja yang dijaga malah maunya pergi, kan? EEEEEH kok jadi ftv gini.
Sekali lagi, tanggungjawab
kita dalam perihal ‘menjaga’ tuh ya, memang hessss banget, alias sulit.
Saya sudah
mewanti-wanti untuk tidak menjadi manusia ceroboh pasca kehilangan gawai saya
di bus jurusan Bogor-Kp Rambutan bebapa tahun lalu. Ya, kehilangan rasanya sesakit itu. Namun apa daya saudara-saudara,
namanya musibah yak.. kaga bisa ditebak banget, dah. Kali ini lepi harus merasakan cidera karena ulah pemiliknya sendiri. Huhuhu kadar sakitnya sama.
Isi kepala tuh seolah-olah memutar semua perjuangan dalam menanti si barang ini. Mulai dari ngumpulin pundi recehnya, nunggu waktu pas beli, memilih warna apa yang bagus, dan perasaan saat pertama kali mendapatkannya dalam genggaman... sangat terekam jelas.. Duh, memutar waktu ke 10 menit sebelumnya boleh nggak ya Allah? legowo kuwi angel yo.
Memang ada
baiknya kalau mau nugas pakai lepi, lepinya jangan di plek-in di kasur.
Jangan. Entah kapan, nanti pasti akan ada masanya
terjadi sesuatu yang tidak disangka. Kejadian fatal. Entah ketendang lah,
kesenggol lalu jatuh lah, kegeser lalu nyungsep lah. Nah, bisa dibayangkan kan
peluang jatuhnya sebanyak apa?
Pasca si lepi
jatuh, dengan perasaan paling lossss, akhirnya saya mencoba tetap tenang. Walau sebenernya deg-dengan parah. Takut dia kenapa-kenapa.
Melihat 13 titik noda yang tidak bisa hilang di layar LCD adalah hal paling menyedihkan saat pertama saya menyalakannya. Firasat saya sudah nggak enak banget. Kalau menebak, takut tebakan saya benar. Tapi peluang “layar pasti nggak kenapa-kenapa” ya kecil juga. Benar saja, semakin hari, titik-titik itu makin muncul dan membentuk sebuah garis-garis hitam yang makin membesar. Sudah kayak saismograf begitu penampakannya sekarang. YaRobbi...
Melihat 13 titik noda yang tidak bisa hilang di layar LCD adalah hal paling menyedihkan saat pertama saya menyalakannya. Firasat saya sudah nggak enak banget. Kalau menebak, takut tebakan saya benar. Tapi peluang “layar pasti nggak kenapa-kenapa” ya kecil juga. Benar saja, semakin hari, titik-titik itu makin muncul dan membentuk sebuah garis-garis hitam yang makin membesar. Sudah kayak saismograf begitu penampakannya sekarang. YaRobbi...
seismograf yang antique. |
Sebelum titiknya
meluas menjadi sebesar itu, tentunya saya sudah mencari info tempat ganti layar
lepi yang tentunya tidak menguras kantong. Saya bertanya kepada semua kawan yang
sekiranya pernah posting di WA/IG stories mereka mengenai gadget rusaknya yang pernah direparasi atau yang mengerti tempat reparasi. Ya ada
untungnya juga punya teman yang kadang apa-apa update ke sosmed. Lumayan lah
bisa menambah informasi. Hehehe.
Setelah saya
perhatikan dan rasakan, kok kayaknya pelarian isi kantong saya tiap habis bulan, paling
banyak pasti larinya kalau nggak ke gawai yang eror, motor yang masuk bengkel, dan
sekarang bertambah lagi satu. Membahagiakan sekali.
Pada akhirnya
saya belum mengganti layar ini menjadi normal kembali, sampai detik ini.
Saya merasa, ganti
LCD ini belum terlalu menjadi urusan yang urgensi. Toh, walaupun layarnya
begitu, saya masih bisa mengerjakan tugas, curhat di word, ngedit di photoshop,
dan membuat slide ppt laiknya bocah esde alias warnanya banyak banget lah
pusing. Ya tapi meski masih bisa dipakai, perasaan sakitnya tentu masih ada.
Membekas. Susah hilang. Separuh jiwaku pergi, kalau kata mas Anang.
Tapi ada sisi
menyebalkannya juga. Ketika sedang
membaca dan mengetik teks sih yang sejauh ini terasa sekali. Hurufnya jadi
susah terbaca/terketik karena terhalang si garis, jadi mau nggak mau saya harus
memperbesar/memperkecil ukuran huruf atau jendela kerjanya. Memang agak PR,
tapi ya mau bagaimana lagi...
Sekarang setiap
disuruh bawa laptop untuk media presentasi di kelas, sudah nggak ada semangatnya sama sekali.
Ya FYI saja, bukan alasan yang
dibuat-buat. Masa iya nanti nyajiin slide presentasi tapi hurufnya nggak kebaca?
kan nggak lucu dongggg. Yang ada nanti pada salah fokus ke garis tersebut.
Dosennya juga. Pada akhirnya yang dijelasin di depan kelas bukannya materi, eh malah sesi curhat alur kejadian si layar lepi kenapa bisa begitu, lalu keluar
celetukan #koinuntukLCDenur, lalu lalu lalu... *Heyyy kok random amat ya dirikuuu.*
Saat pertama kali
mau akses Whatsapp Web, kan harus ada pindai
barcode dulu ya.. lalu
barcodenya itu muncul pas di garis seismograf, otomatis terhalang. Kurang lebih sepuluh menitan saya
menghabisakan waktu untuk memindai barcode tersebut namun gagal terus. Dalam keadaan saat itu, saya dituntut untuk mengirim dokumen secepatnya. DITUNGGU. Kebetulan juga tidak membawa kabel data. Lengkap sudah.
Saya kebingungan dan merasa bodoh seketika. Setelah
diperhatikan lagi, kenapa layar Chromenya nggak digeser saja ya kan ke sisi yang
nggak ada garisnyaaaaa??
Di menit ke-15, barulah ide itu muncul tanpa kompromi. Ya kadang kalau
lagi panik, mau rumus semudah apa juga pasti sulit banget dicerna.
Dan ada lagi
yang menambah luka. Luka lama belum sembuh, ini sudah ditambah lagi. Kreteknya maksimallll.
Jadi saat
lebaran kemarin, tugas kuli datang sedang puncak-puncaknya. Berhubung kedapatan kelompok yang maju tepat setelah libur
lebaran semua,
serentak tugas jadi meledak di minggu pertama masuk pasca libur
lebaran. Siap nggak siap
tentunya harus dikumpulkan. Kekompakan tugas yang hadir kali ini tidak bisa dilucu-lucuin sih. Nggak ada lucunya. Membuat saya pusing, yaiya.
Karena saya dan
keluarga mamutuskan untuk pulang ke kampung halaman, akhirnya saya memutuskan
membawa si lepi, dengan dalih… nanti akan mengerjakan tugas di sana sambil
menatap hijaunya padi, sambil menyeruput kelapa hijau yang baru dipetik dari
pohonnya, sambil menatap senja… eh nggak deh, banyak nyamoeeek bos.
Sesampainya di
kampung, ngerjain tugas itu ternyata cuma mentok jadi wacana. Setelah ketemu Uwa,
Bulek, Paklek, dan Sepupu sambil cerita-cerita, hangus sudah kata tugas dalam
kepala. Momen ini ternyata ya jarang gitu loh saya dapetin kalau bukan di
lebaran. Jadi mau menyia-nyiakan kesempatan juga kayaknya sayang banget. Sungguh dilema sekali.
Bukan nggak sempat buka lepi juga, pergi-pergian terus adalah kata
kunci. Pergi dalam artian menyenangkan, tapi bukan tujuan utama liburankuuu. Banyak rencana yang jadi wacana. Mau mantai sambil leyeh-leyeh di
pasir pun sirna begitu saja. Menjelajah Menganti masih jadi wishlist,
lagi. lagi.. lagiiiiiii. Kalau dibilang liburan, iyaa tapi sungguh libur
yang tidak ada definisi liburannya :’) Suka duka lebaran kali ini we o we banget
deh. Tapi nggak apa-apa, yang penting kan momen kumpul bareng sekeluarga
besarnya kaaan. Yoi laa.~ *Nyenengin diri sendiri*
Cerita luka yang
bertambah ini dimulai saat menempuh jarak Gombong-Bekasi-Depok.. Kebetulan ada dua orang yang bersedia mengemudi di trek mudik kali ini. Pak supir yang satu ini tipe yang nyupirnya kalem, bawa mobilnya santai bet lah, tenang. E tapi yang satu lagi alias sudah senior alias Bapak saya sendiri, bawa mobilnya tentu beda. Beliau menerjang
semua yang dilewati dengan lebih gesit dan wuz wuz wuzzzz. Saya curiga, apakah jiwa ngebut-ngebutan dalam diri saya ini sudah diwariskan turun-temurun dari keluarga? Heem..
Selama perjalanan pulang ini, penumpang mendadak jadi pendiam semua. Kalau saya sih pasti, ngantuk cuy. Hehehe. Diduga, seisi penumpang yang ada di belakang kemudi supir makin soleha, lantaran jadi banyak merapal dzikir
demi menghindari
terjadinya hal yang
amit-amit. Ngebut banget dong ieuuu... toloong~~
Setiap ada jalur yang uwu, pasti ibu-ibu di barisan tengah beristighfar dengan kencang.
Membuat penghuni jok belakang juga ikutan. Sadis memang pak pirnya.
Membuat penghuni jok belakang juga ikutan. Sadis memang pak pirnya.
Lubang diterabas, lewat polisi tidur gas
terus, kacau sih ini Babeh pembalap. Sebagai anak tentunya saya mengomentari sedikit, bahkan meminta beliau
untuk menjalankan mobil dengan pelan-pelan saja. Alon-alon sing penting kelakon, gitu. Lah
yang ada malah saya dikomplen :’) emang mau kalau nanti
kena macet? berikut adalah kata-kata yang ampuh membuat saya membungkam mulut seketika.
Ya sudah, kami sebagai penumpang ya pasrah saja di belakang. Karena
yang mengerti jalur itu pak pir, baik, penumpang ngikut~ Tentunya seraya tak henti merapal doa-doa agar supaya sampai dengan selamat.
Karena alasan
pamungkas menghindari macet, membuat semua tipe jalanan di hadapan kami dihajar
terus oleh pak pir. Keadaan penghuni jok belakang gimana? aman? oh ya jangan di tanya, tentu saja barang yang ada di bagasi belakang
terbang ke depan semua. *terkejut aku terheran heeeran*
Sebagai penghuni
kursi paling belakang bersama satu adik sepupu, ketika dihadiahi tas berisi oleh-oleh yang
jatuh tepat di atas kepala, ya
kami hanya bisa mengaduh dan tertawa berdua. Hiburan receh di perjalanan pulang. Sangat receeeeh. wkwk. Yang tadinya ngantuk,
mendadak hilang kantuknya. Lalu jadi jantungan karena banyakan kagetnya.
Kamu tahu
klanting yang bungkusannya kiloan yang tinggi itu nggak? Nah… kepala kami juga kejatuhan
makanan syurgawi tersebut. Wes
lah rasane puancen mumeti banget.
ketiban klanting syurgawi~~ sumber: Google |
Dan yang
mencengangkan… Hal itu
berimbas ke laptop saya yang sejak berangkat sampai pulang tidak pernah dinyalakan itu. Sungguh saya melakukan hal yang mubazir terhadap isi tas saya. ckckck.
Laptop yang sengaja saya taruh di bawah itu, sudah pasti loncat dan terbentur. Perasaan saya jadi was-was. Ngebayanginnya saja sudah ngeri sedap kan.. Ya begitulah, pokoknya saya ingin
kraaaaaaaay tapi saya sayang sama bapakeee. Huhuhu. Tapi alhamdulillah kami tiba dengan selamat sentosa di rumah. Mantap pak pir!
Inhale... exhale...
Potek kesekian dirasakan saat saya mengecek laptop di rumah. Ohoho. Saya melihat ada titik di layar LCD itu bertambah lagi. Kali ini lebih ikonik, seperti lambang Corel versi lama, hewan
iguana terpampang jelas di
layar sebelah kiri.
halo, saya iguana~ salam kenal~ |
Entah harus senang karena jadi punya stiker
abadi yang nggak ada di outlet penjual laptop manapun, atau harus bersedih karena melihat layar yang
penduduknya kian hari kian bertambah. Hem, kayaknya cepat atau lambat titik-titik itu akan saling bersilaturrahmi.:’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca sampai bagian akhir. ^^
Jika ada yang perlu dikomentari, maka komentarilah. Sebab punya perasaan yang dipendam itu memusingkan. Hehe.